Kusudama Spides


Kusudama Crocus


Kusudama Carcass




Gowes Bareng Kompas


Gowes Bareng - Kompas
25 Juli 2010
Pk 06.30 WIB
Start: Gd. Kompas Gramedia, Palmerah
Finish: Plaza Timur GBK, Senayan
Tiket: Rp 30.000

Bike To Heritage Warta Kota

Hari itu adalah Selasa, 26 Januari 2010, di mana FIFA World Cup Trophy Tour sedang singgah di Indonesia, di Jakarta Convention Centre (JCC)  tepatnya. Saya bersama seorang teman kuliah saya, sebut saja Rina (emang Rina kok, bukan nama samaran) sudah merencanakan untuk datang ke JCC dan melihat trofi piala dunia itu secara langsung. Kami bertemu di kampus biru (Budi Luhur tercinta, dalam suka dan duka - Himne KMK BL), sekitar jam 1 siang karena untuk ujian online CISCO terlebih dahulu di laboratorium computer. Setelah saya melaksanakan ujian 4 chapter terakhir (Rina sih gak, katanya besok aja di rumah, masih sampe tgl 2 Pebruari ini kok, okelah), saya dan teman sekelas lainnya, Rina juga, menyampah dulu tuh di wall facebook-nya David (teman saya juga) karena ada comment pertamax dari dia-yang-namanya-tak-boleh-disebut. Hehehe jadi melantur.
Waktu menunjukkan jam 4 sore, saya dan Rina pun beranjak dari kampus ke arah Senayan, lokasi JCC berada, dengan kendaraan berwarna oranye bertuliskan 69 (red.- supirnya bukan pendukung belanda), lalu transit di  daerah pakubuwono dan melanjutkan perjalanan dengan bis berwarna hijau-kuning bernomor 102 (red.- bukan pemain brazil), sampai depan Hotel Mulia. Kemudian kami memasuki area Gelora Bung Karno dengan berjalan kaki, sebenernya kami salah turun tuh, seharusnya di depan Ex-Taman Ria aja, jalan kakinya jadi jauh banget deh.
Ya jam 4 lewat 30 menit kurang lebih. Sampai di depan JCC kami terheran-heran, kenapa ini orang-orang berkerumun di depan pagar JCC, kenapa pakai dipagari segala, kenapa tidak bisa langsung masuk saja, kenapa ticket boxnya tidak kelihatan, kenapa kok ramai banget, kenapa, kenapa, kenapa. Sambil mencari tahu apa yang terjadi, kami berjalan mengitari JCC sampai ke food court (letaknya liat di denah) dan beristirahat duduk sejenak di situ sambil menunggu teman-teman Rina dari United Indonesia.
Sekitar jam 5 teman Rina bernama Steven datang dan masih menunggu satu orang lagi. Karena masih penasaran dengan situasi kami bertiga bertanya pada salah satu crew yang sedang merapikan meja (mas-masnya ramah). Katanya, ternyata tadi siang itu sempat terjadi semacam keributan, makanya penjualan tiket yang akan ditukar kartu tanda masuk ditutup sementara dan JCC diamankan oleh security mulai dari pagar JCC, jadi pengunjung yang belum membeli tiket tidak boleh masuk kecuali yang sudah mendapatkan tanda masuk, seperti undangan dari sekolah-sekolah, dll. Penjualan tiket dibuka lagi jam 6 sore. Baiklah kami pun menunggu satu jam lagi.

Tik..tok..tik..tok..

8 x 3 = 23 ?

Sang Guru Bijak mempunyai banyak murid, yang datang dari berbagai latar belakang sosial,etnis dan agama. Tak pernah ia menolak calon muridnya. Syaratnya harus sungguh-sungguh belajar. Ia kecewa terhadap muridnya yang malas. Si Putih adalah murit terpandai Sang Guru Bijak. Suatu hari ia di tantang murid yang paling bodoh.

"Putih, kalau kamu memang pandai, coba jawab berapa 8 X 3 itu?"  Secara spontan Si Putih langsung menyebut angka 24.

"Salah", kata Si Bodoh "yang benar adalah 23 !!!"

Tak lama kemudian kedua murid tersebut berdebat tiada habisnya, masing-masing mempertahankan kebenarannya sendiri. Tak tahan berdebat berkepanjangan, Si Bodoh lalu menantang si putih bertaruh.

"Begini putih, seandainya 8 X 3 = 24 kamulah yang benar, aku rela menggorok batang leherku sendiri. Namun kalau ternyata yang benar 23, kamu harus mencopot topimu."

Berusaha mencegah pertaruhan itu Si Putih berkata, "Saudaraku, tiada gunanya pertaruhan ini, saya tidak mau kamu jadi korban sia-sia."

Namun Si Bodoh tetap bertekad meneruskan pertaruhan itu dan bahkan meminta Sang Guru Bijak menjadi wasit.

"Apa yang guru katakan, itulah KEBENARAN" lanjut Si Bodoh.

Maka dengan lesu tak bersemangat, Si Putih pun terpaksa menuruti permintaan saudara seperguruannya itu. Keduanya lalu menghadap gurunya dan menceritakan kembali jalannya perdebatan antara mereka. Sang Guru pun tersenyum, mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa 8 X 3 = 23.

Betapa kecewanya Si Putih saat itu respeknya pada Sang Guru merosot ke titik terendah. Ia merasa di bohongi orang yang selama ini begitu di hormati dan dijunjung amat tinggi. Dengan kesal, marah, dan amat kecewa ia lalu membanting topinya. Setengah berteriak ia pun berkata, "Lebih baik aku pulang ke kampung, hidup dengan kejujuran, keluguan, dan kesederhanaan, ketimbang hidup di tengah-tengah kebohongan, kemunafikan, dan kepura-puraan."

Melihat reaksi putih Sang Guru tetap saja tersenyum. Lalu dengan suara lembut Beliau berkata ,"Kalau kamu memang sudah bertekat mundur dan pulang ke kampung aku tidak bisa mencegah, namun kalau kamu masih mau mendengarkan, dengarlah nasehatku ini, sekiranya dalam perjalanan pulang nanti terjadi hujan yang sangat lebat, hati-hatilah, jangan bernaung di bawah pohon besar, karena pohon itu akan tumbang dan menimpamu."

Sambil ngedumel tak jelas, Si Putih pun langsung keluar pergi tanpa sempat mengucapkan kata pamit pada gurunya. Di tengah perjalanan tiba-tiba cuaca berubah drastis. Langit yang semula cerah mendadak berubah hitam pekat. Hujan deraspun seolah-olah di tumpahkan dari langit. Hati putih tercekat dan kala matanya melihat ada sebuah pohon besar di atasnya, secara refleks ia pun menghindar. Pada saat itu sang pohon besar tumbang dengan di iringi suara yang amat gemuruh. Si Putih bergidik, dan menghela nafas, hampir saja nyawanya melayang meninggalkan raganya. Setelah lepas dari kagetnya, Si Putih pun tersadar bahwa Sang Guru benar-benar bukan manusia sembarangan. Si Putih lantas berbalik kanan, tidak jadi pulang kampung, tapi lantas kembali ke rumah Sang Guru untuk memohon maaf dan mohon di terima kembali sebagai murid.

Di depan pintu rumah, gurunya ternyata sudah menunggu sambil tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Si Putih pun terkesima, sebelum sempat ia mengucap sepatah katapun, gurunya berkata, "Putih, 8 X 3 ya 24. Namun seandainya tadi kukatakan 8 X 3 = 24 kamu akan menyesal seumur hidupmu, merasa menjadi pembunuh bagi saudaramu sendiri. 8 X 3 = 24 hanyalah kebenaran kecil, kebenaran matematis. Namun 8 X 3 = 23 dalam konteks tadi adalah kebenaran besar, karena menyangkut nyawa manusia, nyawa saudaramu sendiri. Ingatlah muridku, hidup penuh warna. Setiap warna mempunyai arti tersendiri, namun tidak semua bisa dibaca dengan mata biasa, harus dibaca dengan kejernihan mata hati, kebesaran jiwa, dan kelapangan dada. Kalau hanya soal hitam dan putih, semua orang pasti bisa membedakannya. Namun kalau sudah beraneka warna, sungguh sulit dan rumit untuk mengatakan manakah yang lebih indah, mana yang kurang baik. Demikian pula soal kebenaran, dengan mudah, jelas, ia akan mudah di bedakan dengan kejahatan. Namun acapkali persoalanya menjadi kabur, kala kebenaran versi satu berhadapan dengan versi lainnya. Di sinilah kejernihan mata hati yang harus menentukan. Renungkanlah muridku."

Dari : "BUKU BERTAMBAH BIJAK SETIAP HARI" - Budi S. Tanuwibowo