8 x 3 = 23 ?

Sang Guru Bijak mempunyai banyak murid, yang datang dari berbagai latar belakang sosial,etnis dan agama. Tak pernah ia menolak calon muridnya. Syaratnya harus sungguh-sungguh belajar. Ia kecewa terhadap muridnya yang malas. Si Putih adalah murit terpandai Sang Guru Bijak. Suatu hari ia di tantang murid yang paling bodoh.

"Putih, kalau kamu memang pandai, coba jawab berapa 8 X 3 itu?"  Secara spontan Si Putih langsung menyebut angka 24.

"Salah", kata Si Bodoh "yang benar adalah 23 !!!"

Tak lama kemudian kedua murid tersebut berdebat tiada habisnya, masing-masing mempertahankan kebenarannya sendiri. Tak tahan berdebat berkepanjangan, Si Bodoh lalu menantang si putih bertaruh.

"Begini putih, seandainya 8 X 3 = 24 kamulah yang benar, aku rela menggorok batang leherku sendiri. Namun kalau ternyata yang benar 23, kamu harus mencopot topimu."

Berusaha mencegah pertaruhan itu Si Putih berkata, "Saudaraku, tiada gunanya pertaruhan ini, saya tidak mau kamu jadi korban sia-sia."

Namun Si Bodoh tetap bertekad meneruskan pertaruhan itu dan bahkan meminta Sang Guru Bijak menjadi wasit.

"Apa yang guru katakan, itulah KEBENARAN" lanjut Si Bodoh.

Maka dengan lesu tak bersemangat, Si Putih pun terpaksa menuruti permintaan saudara seperguruannya itu. Keduanya lalu menghadap gurunya dan menceritakan kembali jalannya perdebatan antara mereka. Sang Guru pun tersenyum, mengangguk-angguk, lalu berkata bahwa 8 X 3 = 23.

Betapa kecewanya Si Putih saat itu respeknya pada Sang Guru merosot ke titik terendah. Ia merasa di bohongi orang yang selama ini begitu di hormati dan dijunjung amat tinggi. Dengan kesal, marah, dan amat kecewa ia lalu membanting topinya. Setengah berteriak ia pun berkata, "Lebih baik aku pulang ke kampung, hidup dengan kejujuran, keluguan, dan kesederhanaan, ketimbang hidup di tengah-tengah kebohongan, kemunafikan, dan kepura-puraan."

Melihat reaksi putih Sang Guru tetap saja tersenyum. Lalu dengan suara lembut Beliau berkata ,"Kalau kamu memang sudah bertekat mundur dan pulang ke kampung aku tidak bisa mencegah, namun kalau kamu masih mau mendengarkan, dengarlah nasehatku ini, sekiranya dalam perjalanan pulang nanti terjadi hujan yang sangat lebat, hati-hatilah, jangan bernaung di bawah pohon besar, karena pohon itu akan tumbang dan menimpamu."

Sambil ngedumel tak jelas, Si Putih pun langsung keluar pergi tanpa sempat mengucapkan kata pamit pada gurunya. Di tengah perjalanan tiba-tiba cuaca berubah drastis. Langit yang semula cerah mendadak berubah hitam pekat. Hujan deraspun seolah-olah di tumpahkan dari langit. Hati putih tercekat dan kala matanya melihat ada sebuah pohon besar di atasnya, secara refleks ia pun menghindar. Pada saat itu sang pohon besar tumbang dengan di iringi suara yang amat gemuruh. Si Putih bergidik, dan menghela nafas, hampir saja nyawanya melayang meninggalkan raganya. Setelah lepas dari kagetnya, Si Putih pun tersadar bahwa Sang Guru benar-benar bukan manusia sembarangan. Si Putih lantas berbalik kanan, tidak jadi pulang kampung, tapi lantas kembali ke rumah Sang Guru untuk memohon maaf dan mohon di terima kembali sebagai murid.

Di depan pintu rumah, gurunya ternyata sudah menunggu sambil tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya yang panjang. Si Putih pun terkesima, sebelum sempat ia mengucap sepatah katapun, gurunya berkata, "Putih, 8 X 3 ya 24. Namun seandainya tadi kukatakan 8 X 3 = 24 kamu akan menyesal seumur hidupmu, merasa menjadi pembunuh bagi saudaramu sendiri. 8 X 3 = 24 hanyalah kebenaran kecil, kebenaran matematis. Namun 8 X 3 = 23 dalam konteks tadi adalah kebenaran besar, karena menyangkut nyawa manusia, nyawa saudaramu sendiri. Ingatlah muridku, hidup penuh warna. Setiap warna mempunyai arti tersendiri, namun tidak semua bisa dibaca dengan mata biasa, harus dibaca dengan kejernihan mata hati, kebesaran jiwa, dan kelapangan dada. Kalau hanya soal hitam dan putih, semua orang pasti bisa membedakannya. Namun kalau sudah beraneka warna, sungguh sulit dan rumit untuk mengatakan manakah yang lebih indah, mana yang kurang baik. Demikian pula soal kebenaran, dengan mudah, jelas, ia akan mudah di bedakan dengan kejahatan. Namun acapkali persoalanya menjadi kabur, kala kebenaran versi satu berhadapan dengan versi lainnya. Di sinilah kejernihan mata hati yang harus menentukan. Renungkanlah muridku."

Dari : "BUKU BERTAMBAH BIJAK SETIAP HARI" - Budi S. Tanuwibowo

1 Comment:

  1. Adinda Widyastari said...
    Like this story! hehehe

Post a Comment